Oleh Muhammad Noor Ahsin
Seorang Ibu tentu akan senang jika anaknya rukun tanpa konflik. Namun, tidak jarang relasi antara saudara sedarah, karena sebab tertentu, tekadang dapat menimbulkan perselisihan, berujung konflik, tragedi mengenaskan, serta bisa mengakibatkan tragedi kematian. Konflik psikologis dan konflik fisik antar saudara sedarah pun bisa menimbulkan korban jiwa, narasi kegetiran, dan banjir air mata. Tragis.
Setidaknya hal demikianlah gambaran sederhana yang tampak pada pertunjukan teater akar dari Surakarta berjudul ‘Senapati’ karya sutradara Gigok Anurogo. Pertunjukan yang mengangkat potongan kecil kisah pewayangan Mahabharata, dengan tokoh sentral Karna atau tokoh Senapati yang dipertontonkan di Gedung Auditorium Universitas Muria Kudus Pada 18 Januari 2025. Karya ini terinspirasi dari catatan pinggir Goenawan Moehammad dan kisah Mahabarata terjemahan Harijadi S. Hartowardojo.
Dalam kisah pewayangan Mahabharata, seorang perempuan cantik bernama Kunthi melahirkan anak yang tidak diinginkan. Anak yang lahir itu bernama Karna. Demi menjaga nama baik negaranya, Kunthi yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang bayi dari Dewa Surya. Bayi itu ditemukan oleh Adirata dan dirawat sampai dewasa. Setelah membuang bayinya, tidak lama Kunthi menikah dengan Pandu atau Dewa Indra dari Hastinapura dan melahirkan banyak anak, salah satunya adalah Arjuna. Jadi Karna dan Arjuna adalah anak kandung dari Kunthi, anak kandung sedarah, walaupun beda Bapak.
Saat pementasan, awal melihat panggung, penonton akan disuguhi suasana panggung dengan nuansa warna hitam dan putih. Di belakang panggung nampak balok warna putih berjumlah sebelas yang disusun vertikal dan ada yang miring. Serta dihiasi pernak-pernik jaring-jaring tipis warna merah yang cukup elegan.
“Dua anak yang kukandung di dalam rahimku, keduanya saling membunuh ketika bertemu,” ucap Kunthi, Ibu kandung dari dua tokoh yang sedang berkonflik. Ya, dua orang yang saling membunuh dalam pementasan itu adalah kisah antara Karna dan Arjuna. Dalam pementasan, sebuah konflik akan selalu menjadi daya tarik. Konflik antara dua sosok itu pun menjadi daya tarik kuat dan sangat mencolok saat pertunjukan teater musikal tersebut. Karna memakai baju ksatria perang, berambut gondrong, dengan tubuh kekar, dengan membawa senjata busur panah. Arjuna memakai kostum dominan warna putih dengan selempang warna emas, dengan membawa senjata busur panah.
Adegan pementasan juga ada ada pertempuran pasukan antara prajurit berkuda coklat dengan prajurit berkuda warna coklat. Serta ada raksasa berwarna abu-abu dan raksana berwarna merah. Prajurit berkuda coklat dan raksana abu-abu mewakili pihak Karna, sedangkan prajurit kuda putih dan raksana merah mewakili pihak Arjuna.
Dalam kisah Karna, Mahabharata menampilkan sebuah fragmen potongan kisah tragedi. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa Karna menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Di Kurusetra, di dalam perang tanding dengan Arjuna, Karna tahu, ia kalah, ia mati, karena ia lahir dengan identitas yang tidak bisa dirumuskan. Di akhir pentas, dalam perang tanding, Karna sang Senapati terkena busur panah dari Arjuna. Ia kalah, ia mati.
Tokoh Karna diperankan dengan apik oleh Yogi Swara Manitis Aji, sedangkan tokoh Arjuna diperankan oleh Dwi Prasetyo. Memang diakui bahwa, menyajikan pertunjukan teater dengan mengadaptasi salah satu kisah pewayangan dalam secuil epik Mahabharata memang tidak mudah. Namun, dua aktor tersebut mampu menampilkannya dengan sangat baik di atas panggung.
Pada dasarnya, seorang aktor adalah seorang seniman yang mengekspresikan dirinya sendiri. Ketika dia mempersiapkan diri untuk tampil dalam sebuah pertunjukan, usaha yang dilakukannya adalah mendefinisikan kembali atau membuat definisi baru. Dia masuk ke dalam sebuah pengalaman hidup, atau realita baru yang berkembang, tetapi lebih peka, dari kehidupannya sendiri. Kemampuan untuk menjadi “orang baru”, serta pengertiannya tentang pengalaman yang dijabarkan oleh naskah dan yang disampaikan dalam pertunjukan, menggerakkan perasaan penonton dan pikiran penonton sehingga mereka memiliki kesamaan suasana jiwa dengan yang dialaminya itu (Sitorus, 2002).
Agaknya, dua aktor yang berkonflik itu pun mampu menggerakkan perasaan penoton untuk masuk ke lorong imaji dan pengalaman hidup sang aktor saat pentas teater. Pentas teater yang disuguhkan ke penonton tergolong unik dan inovatif. Kelompok kerja teater akar menyuguhkan inovasi pertunjukan teater musikal. Bentuk pertunjukan teater dalam pentas Senapati menghadirkan kombinasi cerita yang kuat dan relevan, ada musik, tari, dan visual. Kelompok kerja teater akar mencoba memberikan pengalaman baru dan mendalam tentang kisah pewayangan Mahabharata yang dibalut dengan sentuhan musik, tari, dan pertunjukan visual.
Meskipun pertunjukan itu menarik, namun ada sedikit kerikil yang mungkin mengganjal dalam pementasan. Iringan musik atau efek musikal dalam teater tentu dapat mendukung suatu pertunjukan teater. Teater Musikal Senapati yang menyuguhkan teater musikal memang menarik. Namun, iringan musik dan efek musikal saat pertunjukkan teater Senapati ada beberapa fragmen yang kesannya berlebihan. Banyaknya efek musikal menyebabkan beberapa dialog dalam adegan suara aktor kalah dengan suara musik. Bahkan ada juga saat dialog aktor, suara efek musik cukup keras sehingga kesannya antara suara tokoh dan suara musik bertabrakan, sehingga menggangu penonton dalam memahami dialog tokoh. Ketika dialog antar aktor dilakukan, ada bagusnya volume musik atau efek musikal diatur agar suara aktor tidak terganggu.
Selain itu, kisah pertempuran antara Karna dan Arjuna tentunya penonton ingin menantikan atau melihat adegan yang tragis dan dramatis. Namun, Adegan peperangan yang disajikan dalam pentas itu kurang begitu dramatis. Adegan pertempuran meskipun menarik tapi sedikit kurang greget. Sehingga kesan dramatisnya kurang terlihat. Misalnya adegan perang tanding Karna dan Arjuna yang sama-sama membawa senjata busur. Karna mati terkena anak panah dari busur Arjuna. Cuma dalam adegan itu anak panah tidak digunakan dalam adegan. Karna pun akting kesakitan dan mati seolah-olah terkena anak panah. Ini yang agak kurang greget, karena terlihat kurang dramatis.
Meskipun demikian, pertunjukan Teater Senapati itu tentu sangat menarik untuk dinikmati penonton. Apreasi yang positif layak diberikan bagi kelompok kerja teater akar. Mengangkat kisah wayang dalam pementasan teater tentu memiliki tantangan. Meskipun kadang menyuguhkan narasi kegetiran, namun kisah-kisah dalam dunia pewayangan yang diangkat dalam seni teater dapat membantu anak-anak, remaja, dan masyarakat dalam memahami sejarah, budaya, konsep etika, dan kearifan lokal.
Muhammad Noor Ahsin
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Muria Kudus,
Bergiat di Komunitas Sastra Keluarga Penulis Kudus (KPK)
Esai sastra tersebut dimuat di Koran Suara Merdeka Rubrik Serat hari Minggu, 2 Februari 2025.
Instragram (IG) : mas.ahsin